Cerpen Sekadar Endapan dan Ampas Kopi - Ranty Fitriani


  Asap secangkir kopi mengepul memudarkan pandangan mata. Dinginnya udara menusuk bilik tubuh ini. Kesendirian, sepi tanpa ada teman dimalam yang sunyi, membayangkan dua orang duduk menikmati manisnya kopi dibawah rembulan. Sudahlah, semua ini hanya ilusi belaka. Jam dinding memaksaku untuk segera beranjak pergi, dan aku berharap agar besok tak ada malam yang suntuk lagi.
  Fajar menyingsing mengawali indahnya pagi, rutinitas kantor membuatku lupa akan segalanya. Aku menikmati rutinitas ini, tak ada waktu untuk memikirkan hal yang tak penting. Kaki melangkah menyusuri denai jalan yang basah, rintik hujan mulai kurasakan. Aku berlabuh disebuah tempat yang tak asing lagi bagiku. Ku seruput perlahan secangkir kopi, dan kali ini aku memesan tanpa gula. Aku terperangah saat mata ini tertuju pada pria  berkemeja hitam, anehnya vibrasi jantung terasa sangat kuat, bahkan diriku tak dapat untuk menyembunyikannya. Terbayang sosok pria yang beberapa minggu ini pergi meninggalkanku, aku tak paham apa yang membuatnya jauh seperti sekarang. Kutinggalkan beberapa helai pecahan uang kertas diatas meja dan aku kembali kerumah.
  Aku tak dapat membuang kenangan secepat aku menghabiskan secangkir kopi pahit, terhitung sudah 2 minggu dia meninggalkanku dan aku masih belum berhasil mengusirnya pergi dari ruang hati ini. “Aku bisa mencintaimu, tapi tidak bisa untuk kumiliki” ujarnya saat dia memilih untuk mengakhiri kisah cinta kami. Aku berat otak untuk memikirkan ucapannya yang sama sekali tidak masuk akal, jika mencintai seseorang, kenapa tidak ada usaha untuk memilikinya? Aku muak dengan kata cinta yang selalu membodohiku, aku benci dengan pria pengecut yang tak ada usaha. Dan nyatanya malam ini kau mampu mengalahkan kopi yang  membuatku susah tidur.
Boleh saja semalam terlalu kelam bagiku, tapi aku berharap pagi ini semua yang kelam menjadi benderang. Setelah separuh perjalanan ke kantor, aku merasa ada yang kurang, iya handphoneku tertinggal diatas meja makan. Kejadian ini tak pernah terjadi sebelumnya, akupun kembali dan berlari menuju ruang makan. Diperjalanan kembali menuju kantor, aku bernala-nala kenapa bisa handphoneku tertinggal. Terlihat dilayar handphone ada satu pesan masuk dari Reyvan seorang tentara yang pernah bersamaku selama 3 tahun ini. Ini semua sangat menjanggal bagiku, karena hal seperti ini sudah lama tak kurasakan. Pikiranku kacau balau, bahkan pekerjaanku hari ini tak karuan, aku hilang kosentrasi. Aku mencoba mendinginkan perasaan dan pikiranku dengan kopi hangat ditempat biasa aku singgahi. Kutenggelamkan perasaaan kacau, dan kuaduk sepi serta rindu secara bersamaan dan kuharap semua itu larut tanpa ada ampas. Handphoneku bergetar, dan ada 2 pesan masuk, dan itu semua dari Reyvan. Dia mengajakku  untuk bertemu di cafe biasa kami bertemu besok malam. Aku hanya mengabaikan pesan singkat itu, biarkan rasa ini tumbuh bersama pahitnya rindu.
  Aku bingung akankah aku pergi menemuinya atau menetap dengan rindu yang semakin berderu. Aku memberanikan diri untuk melangkah menuju cafe tempat berjuta cerita. Kubuka pintu masuk dan sorot mata tertuju pada seorang pria berseragam loreng. Aku kaku, hatiku kalang kabut, dia melemparkan senyum kepadaku dan mengajakku untuk duduk dimeja luar ruangan, aku hanya dapat tertunduk tanpa berkspresi apapun. Kami menghabiskan malam berdua dibawah suasana malam yang indah, tak ada satu katapun yang terlontar dari bibir kami berdua. Tiba-tiba dia menatapku dan berbisik mendekatiku menyampaikan pesan “Aku tidak bisa berjanji untuk memilikimu, karena bisa saja ini rembulan terakhir yang menemani malamku”. Entah mengapa aku merasa getir dengan ucapannya, aku takut untuk kehilangan dia, walaupun dia bukan milikku lagi. Dia memegang tanganku, menatap mataku dengan rasa yang tak mau hilang, lagi-lagi aku hanya bisa menunduk dan air mata jatuh tanpa sadar.
  Aku bingung apa maksud dari pertemuan semalam, aku takut jika semua ini mengecewakan, aku resah jika semua ini hanya kepahitan yang ditaburi manisnya ucapan. Tapi, aku sangat percaya kalau perasaan Reyvan belum sama sekali berubah kepadaku.
  Pagi ini aku terlihat sedikit mudah untuk tersenyum tanpa alasan, aku kembali menjalankan apa yang harus sudah aku lakukan. Aku sudah ikhlas merelakan apa yang bukan milikku lagi, dan semuanya lebih baik dari sebelumnya. Terhitung 1 bulan sudah dari pertemuanku dengan Reyvan, aku mendapatkan kabar bahwa Reyvan lagi dalam perjalanan dari Maluku menuju Palembang dalam keadaan tak bernyawa lagi. Tatkala hati ini cerai-berai, jiwa ini hampa, apa yang harus aku lakukan sekarang? Apakah ada hal yang lebih pahit dari ini?
  Tiga hari sudah berlalu dari kepergian Reyvan, setelah aku membaca surat yang ditinggalkannya untukku aku merasa bahwa cintaku selama ini tidak bertepuk sebelah tangan. Mungkin ini semua jawaban dari keputusan Reyvan untuk menjauh dariku, sudah 3 bulan ini  ia mengidap penyakit kanker usus dan maag kronis, untuk hal inipun aku baru mengetahuinya setelah ia pergi. Sebelum ia meninggal ia ditugaskan pergi ke Maluku untuk operasi militer mengamankan wilayah perbatasan, dan ia meninggal setelah sakit maag kronis yang menggerotinya kambuh.
   Semua ini sangat terasa perih, semua yang indah begitu cepat larut dari hadapanku. Sekarang hanya membekas sebuah luka, dan luka ini tidak dapat hilang begitu saja. Ada kalanya aku merasakan sakit yang beratus-ratus kali lipat saat mencoba mengingatnya.
  Kopi pertama pagi ini, kunikmati dengan tarikan nafas yang begitu panjang. Kopi pekat, kental, pahit seperti rasa kehilangan yang tak kunjung berakhir. Dan nyatanya secangkir kopi tidaklah sepahit kenyataan. Cerita kita ini seperti secangkir kopi, kebahagiaan mudah habis dengan diseruput, sedangkan kepedihan seperti endapan kopi yang tertinggal didasar cangkir, dan tak sengaja dapat kuaduk kembali, dan kamu seperti ampas kopi yang memberikan cita rasa dan aroma tetapi tidak dapat untuk kuminum.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Karya Tulis Ikmiah Tentang Korupsi

KU SAMBUT SERUANMU, HIDUP MAHASISWA!!!